Kala virus Corona menyebar, proyek penelitian ini pun segera terdampak dan terhambat, setidaknya di minggu-minggu awal sejak wabah ini mulai merebak. Pada blog kali ini, koordinator program penelitian Studi Regional, Yulianti dan Abdul Wahid, menuliskan sebuah refleksi tentang dampak wabah virus Corona pada pekerjaan penelitian mereka. Lalu, rekan peneliti mereka dari Belanda, Ireen Hoogenboom dan Martijn Eickhoff, turut membagikan pengalaman mereka.

Yulianti, Abdul Wahid, Ireen Hoogenboom dan Martijn Eickhoff

Gotong Royong - Studi Regional di kala Wabah Virus Corona Merebak

Salah satu kendala utama dalam historiografi konflik Indonesia-Belanda 1945-1949 adalah masalah minimnya keterhubungan. Dialog antara sejarawan Indonesia dan Belanda teramat terbatas, ditambah lagi dengan masih kurangnya pengetahuan yang berkenaan dengan keberagaman dimensi regional dalam konflik tersebut.

Untuk mengatasi kendala tersebut, sub-proyek penelitian Studi Regional berinisiatif untuk mendorong terjadinya pertukaran gagasan lebih jauh antara sejarawan Indonesia dan Belanda. Dalam kelompok penelitian ini, mereka berbagi sumber dan rujukan, mendiskusikan konsep dan pendekatan penelitian, dan saling membaca karya tulis masing-masing. Lewat konferensi tahunan di Indonesia, serta melalui kunjungan-kunjungan penelitian, proyek penelitian ini berkembang menjadi sebuah kelompok kerja sama penelitian Indonesia-Belanda yang sangat dinamis.

Namun, kala virus Corona menyebar, proyek penelitian ini pun segera terdampak dan terhambat, setidaknya di minggu-minggu awal sejak wabah ini mulai merebak. Pada blog kali ini, koordinator program penelitian Studi Regional, Yulianti dan Abdul Wahid, menuliskan sebuah refleksi tentang dampak wabah virus Corona pada pekerjaan penelitian mereka. Lalu, rekan peneliti mereka dari Belanda, Ireen Hoogenboom dan Martijn Eickhoff, turut membagikan pengalaman mereka.

Awalnya, wabah virus Corona tampak sangat berjarak dari kota yang kami tinggali, Yogyakarta, Indonesia. Namun, keadaan ini berubah seketika kala tingkat persebaran virus tersebut semakin meninggi sampai-sampai WHO pun menyatakan wabah virus ini sebagai pandemi global. Sayangnya, krisis kesehatan ini dan jumlah kematian yang dramatis di Cina dan beberapa negara lain yang bersebelahan tidak segera ditanggapi secara cermat oleh pemerintah Indonesia. Malah, masih jelas dalam ingatan, beberapa petinggi pemerintahan justru berkelakar tentang wabah virus ini. Sebagai warga negara, kami tentu sangat menyesalkan hal tersebut, karena menunjukkan ketidakpekaan dan sikap menyepelekan perkara yang sesungguhnya genting. Terbukti tidak lama kemudian, kasus-kasus pertama infeksi virus Corona berhasil diidentifikasi di Jakarta pada awal bulan Maret tahun ini. Segera setelah kejadian tersebut, barulah pemerintah Indonesia mengambil langkah. Akan tetapi, berbeda dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang menganggap wabah ini benar-benar serius dan segera menyatakan keadaan darurat, pemerintah Indonesia mengambil langkah penanganan yang setengah hati. Sebagai akibatnya, virus ini menyebar dengan cepat ke berbagai daerah dan pulau di negeri ini. Dalam kurun waktu dua bulan setelah kasus pertama, Indonesia pun menjadi salah satu pusat pandemi di kawasan Asia Tenggara.

Pemerintah akhirnya terpaksa mengambil tindakan yang lebih ketat yang disebut dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Langkah ini diklaim sebagai strategi terbaik bagi Indonesia, khususnya dengan pertimbangan bahwa kuncitara (lockdown) total, jika diterapkan di Indonesia, akan berujung pada kekacauan sosial, seperti yang terjadi di India. Lewat PSBB, semua lembaga publik, termasuk sekolah, kampus, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat ibadah, ditutup untuk sementara. Kebijakan bekerja dari rumah dianjurkan secara menyeluruh. Dalam penyelenggaraan PSBB ini, terdapat beberapa pengecualian, khususnya bagi pekerja di sektor-sektor strategis guna mencegah terjadinya kejatuhan ekonomi dan keresahan sosial. Langkah pembatasan parsial ini menciptakan kebingungan, ketidakpastian, dan ketidakpuasan khususnya bagi penduduk Muslim yang tengah bersiap menyambut bulan suci Ramadan.

Pada akhir bulan Maret, wabah virus Corona mulai benar-benar berdampak kepada seluruh masyarakat Indonesia. Universitas Gadjah Mada, yang harus kehilangan salah seorang profesornya akibat wabah ini, menjadi kampus pertama di Yogyakarta yang mengambil langkah tegas terkait pandemi ini. Otoritas kampus menerapkan kebijakan bekerja dari rumah, membatalkan semua kegiatan akademik, dan mengalihkan proses belajar mengajar yang semula lewat tatap muka menjadi proses belajar mengajar daring. Langkah ini berpengaruh besar kepada setiap orang yang bekerja di kampus, termasuk kepada kami yang bekerja dalam proyek penelitian ini.

Di minggu-minggu pertama semenjak diberlakukannya kebijakan tersebut, kami belajar menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pernah terjadi sebelumnya ini, seringkali melalui langkah coba-coba. Sebelum wabah merebak, kami yang merupakan staf pengajar dan mahasiswa program doktoral terbiasa menghabiskan waktu kerja kami di kampus. Di sana pulalah kami kerap menghadiri beragam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Sejarah UGM. Lewat acara-acara tersebut kami bersosialisasi dan berbagi temuan-temuan riset kami. Ketika waktu kerja usai, kami seringkali berolahraga bersama di lapangan sekitaran kampus.

Kali pertama virus Corona merambah kampus, kami sebetulnya tengah mempersiapkan lokakarya gabungan di akhir bulan Maret untuk proyek penelitian Studi Regional yang akan menghadirkan para peneliti dari Indonesia dan Belanda. Proses persiapannya berjalan lancar, baik dari sisi materi dan tahap-tahap penyelenggaraannya. Akan tetapi, situasi yang memburuk di Belanda, dan ketidakpastian yang menghinggapi Indonesia membuat kami harus menunda lokakarya tersebut. Sebagai akibatnya, segala persiapan yang berkaitan dengan lokakarya tersebut harus diubah atau bahkan dibatalkan.

Secara keseluruhan, wabah virus Corona mengubah keseharian kami secara drastis. Awalnya kami merasa gamang dan kehilangan arah. Dipaksa untuk menerima batasan-batasan baru dalam keseharian dan mengisolasi diri dari segala kegiatan sosial menjadi sebuah kenyataan baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Jelas betul dalam ingatan betapa tiga minggu pertama semenjak diterapkannya pembatasan sosial berskala besar merupakan masa-masa tersulit yang harus kami jalani. Di tiga minggu itulah kami dipaksa untuk mencerna situasi baru ini. Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengarah ke seberapa burukkah semua ini? Apa yang harus kami kerjakan? Segala pertanyaan ini hinggap di kepala kami secara serentak.

Selepas minggu-minggu yang kacau balau itu, dan masih dalam proses menyesuaikan diri, kami mulai bersemangat kembali ketika berhasil menghubungi teman dan rekan melalui beragam cara komunikasi baru. Kami mulai dapat mengatur keseharian kami, dan menyusun jadwal pekerjaan dari rumah. Setelah beberapa saat, segala sesuatunya mulai tertata. Kami mulai bisa terhubung dengan para peneliti di kelompok Studi Regional—mula-mula dengan rekan peneliti yang ada di Indonesia, lalu bergerak lebih jauh dengan rekan-rekan peneliti yang ada di Belanda. Tujuan awal kami sesungguhnya cukup sederhana: kami hanya ingin memastikan bahwa semua orang berada dalam keadaan baik dan sehat, serta untuk menjaga semangat kelompok. Kemudian, kami mencoba untuk mengejar ketertinggalan berkaitan dengan pekerjaan dan membahas bagaimana kami harus melanjutkan kerja penelitian.

Kami berinisiatif untuk memulai beberapa pertemuan daring melalui aplikasi Zoom, yang ternyata cukup berhasil. Lewat platform ini, kami berhasil menyelenggarakan beberapa lokakarya daring untuk kelompok penelitian Studi Regional. Akan tetapi, mengingat lokakarya daring ini adalah sebuah pengalaman baru dan bahkan masih dalam tahap uji coba, kami tak ingin terlalu memaksakan, terlebih ketika teknologi dan koneksi internet kerap menjadi hambatan. Hal yang terpenting bagi kami adalah bahwa para peneliti dapat mengutarakan segala tantangan dan kesulitan yang harus mereka hadapi akibat wabah virus Corona. Terus terang, awalnya kami merasa jengah ketika kami harus melakukan pertemuan serius guna kepentingan pekerjaan yang dilakukan secara virtual dari rumah yang sebetulnya merupakan ruang pribadi kami. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, hal ini juga merupakan pengalaman menarik yang sekaligus memberi rasa lega karena kami bisa kembali berinteraksi untuk menyelesaikan pekerjaan. Oleh sebab itu, kami ingin memberikan penghargaan kepada para kolega dan rekan peneliti dalam proyek ini atas kegigihan, dan semangat gotong royong dalam menunaikan tugas.

Berdasarkan pengamatan kami, situasi Indonesia saat ini memunculkan tantangan-tantangan baru bagi kehidupan akademik. Di satu sisi, beberapa kegiatan masih bisa dilakukan secara langsung lewat perangkat digital; di sisi lain, ada beberapa aktivitas yang harus dilakukan melalui pertemuan langsung. Dari beberapa lokakarya virtual yang kami selenggarakan, misalnya, kami menjadi tahu bahwa beberapa rekan peneliti di kelompok penelitian Studi Regional tidak dapat melakukan penelitian langsung karena adanya larangan perjalanan baik di dalam ataupun ke luar negeri. Selain itu, akses ke arsip-arsip lokal dan ke beberapa sumber informasi lainnya menjadi tertutup. Dapatlah dimengerti apabila kendala-kendala tersebut pada akhirnya mengakibatkan frustasi atau keterlambatan dalam menulis. Sementara Pemerintah baru saja memperkenalkan paradigma ‘Normal Baru’, kami masih harus meraba-raba bagaimana paradigma tersebut bisa diterapkan di lingkup akademik. Apakah hal ini sebatas seperangkat nilai-nilai teknokratis baru ataukah bisa dimaknai sebagai sebuah paradigma intelektual baru yang mencakup kebebasan akademik lebih luas yang pada akhirnya dapat mendorong kita semua untuk menghasilkan pemahaman baru tentang masa lalu Bangsa ini? Sejatinya itulah yang kita harapkan sebagai hasilnya nanti.

-----------------

Bagi kami berdua, Ireen Hoogenboom dan Martijn Eickhoff, yang tengah berada di Belanda, wabah virus Corona memiliki dampak yang serupa. Wabah ini hinggap di Belanda lebih dahulu daripada di Indonesia. Kami pun mulai ragu apakah lokakarya tahunan yang sejatinya akan diselenggarakan di Yogyakarta di akhir bulan Maret ini akan masih bisa berlangsung. Setelah mempertimbangkan satu dan lain hal, kami memutuskan untuk membatalkannya demi kebaikan bersama. Seminggu kemudian, pemerintah Belanda menerapkan apa yang disebut dengan ‘intelligent lockdown’. Semenjak itu, barulah kami sadar bahwa wabah ini tidak akan segera berakhir dan sudah barang tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan dan pekerjaan kami. Bahkan untuk berencana pun menjadi pekerjaan yang sangat sukar dilakukan. Dalam kaitannya dengan kelompok penelitian Studi Regional, pembatasan penerbangan dan larangan untuk berkumpul menjadi tantangan tersendiri. Beberapa orang peneliti dalam proyek ini bahkan terinfeksi langsung oleh virus ini yang serta merta mengakibatkan terhentinya aktivitas perorangan dan pekerjaan akademik. Namun, kami tetap berupaya untuk menemukan celah dan mengambil hikmah dalam situasi sulit ini. Bertemu kembali dengan rekan peneliti dari Universitas Gadjah Mada dan para sejarawan yang tergabung dalam proyek penelitian Studi Regional memberikan pengalaman baru sekaligus menambah semangat bagi kami. Kami secara bersama-sama menggagas serangkaian pertemuan dan lokakarya daring sebagai pengganti dari lokakarya terdahulu yang terpaksa harus dibatalkan. Meskipun masih ada beberapa masalah teknis, komitmen kuat para rekan peneliti membuahkan hasil yang sangat baik.

Kami kini mulai semakin terbiasa dengan situasi baru ini. Lokakarya digital pun sepertinya merajai keadaan Normal Baru. Memang benar kami masih tercerabut dari kontak langsung dan ruang-ruang diskusi yang spontan. Akan tetapi, kami tak kehilangan asa. Mudah-mudahan di waktu dekat kami bisa menggabungkan kedua cara berinteraksi ini. Lagipula, tak dapat dipungkiri bahwa berjalan baiknya pertemuan-pertemuan daring kami tersebut adalah buah manis dari keterhubungan langsung yang kami telah kami bangun di masa-masa sebelumnya.

02-07-2020