Pada malam tanggal 13 September 2018, pertemuan kedua terkait proyek penelitian Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950 diselenggarakan di Pakhuis de Zwijger, Amsterdam. Siarannya masih dapat dilihat pada tautan ini.
Tema perbincangan dalam pertemuan itu adalah Dekolonisasi atau rekolonisasi? Bagian awal dipusatkan pada diskusi seputar dampak perang antara Indonesia dan Belanda, sementara bagian kedua membahas perihal beragam terminologi yang lazim dipakai. Istilah ‘aksi polisi’ bisa jadi sudah usang, namun bagaimana dengan istilah ‘dekolonisasi’? Mengingat Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka peperangan yang dilancarkan Belanda bisa dipandang sebagai sebuah upaya rekolonisasi atas negara yang berdaulat. Garis yang menghubungkan semua gagasan yang dikemukakan pada pertemuan itu adalah keragaman sudut pandang, atau multiperspektif: bagaimana kita semestinya berlaku adil terhadap sejarah sambil mempertimbangkan segala nuansa dan ragam sudut pandang?
Frank van Vree, Direktur NIOD, Lembaga Kajian Perang, Holocaust, dan Genosida, adalah yang menyampaikan pidato pembuka pada pertemuan tersebut. Pidatonya dapat dibaca pada situs NIOD atau pada tautan ini. Dalam pidatonya, Frank van Vree menggambarkan bagaimana para peneliti selalu membuka diri dan hadir di beragam media, forum diskusi, debat dalam kurun satu tahun terakhir tanpa pernah menarik diri dan berlindung di balik menara gading. Keterbukaan mereka itu berhasil membuahkan pertukaran informasi dengan pihak-pihak lain termasuk yang bukan berasal dari lingkup akademik, Kelompok Penasihat Ilmiah dan Kelompok Pemerhati Sosial, yang mewakili setidaknya dua lembaga, yakni, Indisch Platform dan Veteranenplatform. Sementara, pihak yang dengan sengaja tidak diikutsertakan adalah pemerintah Belanda sendiri mengingat kemandirian dari proyek penelitian ini.
Dalam paparannya yang berjudul Kawan dan Musuh Indonesia, dari Multatuli sampai Poncke Princen, Bonnie Triyana, sejawaran independen dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyampaikan uraian tentang pendirian Museum Multatuli di Rangkasbitung. “Mengapa museum ini dinamai nama orang Belanda alih-alih diberikan nama tokoh pahlawan lokal?” adalah pertanyaan yang kerap ditujukan kepadanya. Kelompok mahasiswa yang menentang museum ini pun mengulang pertanyaan serupa sambil menambahkan: “Dia adalah orang Belanda, musuh kita semua.” Menanggapi itu, Bonny Triyana menegaskan bahwa perjuangan melawan kolonialisme dilakukan oleh semua orang dari beragam latar belakang: apa atau siapa mereka tidaklah penting, selama mereka berbagi satu tekad perjuangan yang sama. Mereka yang liyan ini sudah sepatutnya memperoleh perhatian kita juga, sambil mengambil contoh tentang kehidupan Poncke Princen. Bonnie Triyana menggarisbawahi pentingnya mengedukasi kaum muda di Indonesia dan di Belanda perihal pentingnya sejarah pada periode ini guna menghindari kejadian serupa di tahun 2002 kala Balkenende menggelorakan kejayaan VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) tanpa mengindahkan kenyataan bahwa kongsi dagang tersebut telah membuat landasan kolonialisme dan imperialisme yang bertahan selama berabad-abad di Indonesia.
Salah satu sub-penelitian yang menginduk kepada proyek penelitian besar ini adalah tentang Saksi dan Rekan Sezaman. Para peneliti yang tergabung dalam sub-penelitian ini bekerja dengan cara menjalin hubungan dengan generasi pertama, kedua, dan ketiga yang masing-masing dimintai kesediaannya untuk berkisah tentang sejarah pada periode ini. Kisah-kisah pribadi yang mereka sampaikan memperkaya penelitian dan bahkan menginspirasi para peneliti untuk terus menggali pertanyaan-pertanyaan baru. Stephanie Welvaart pada malam itu berbincang dengan tiga orang generasi ketiga dari Belanda dan Indonesia. Pertama, Hanneke Coolen-Costers menjelaskan bagaimana orang tua mereka terkejut saat mereka untuk kali pertama mendengar kisah tentang orang tua mereka. “Kamu tak pernah menanyakan hal ini,” adalah balasan yang kerap mereka dengar. Sementara, sepanjang pengetahuan Jeftha Pattikawa, sejarah besar adalah sejarah yang bertalian dengan keluarganya juga: “Anda bisa saja mencoba mengkaji data seolah-olah hal ini adalah hal yang objektif, tapi Anda luput bahwa ini adalah sejarah saya juga. Tanpa sejarah ini, tak mungkin saya bisa berada disini.” Natasha Santoso turut menegaskan bahwa kita kerap lupa bahwa orang-orang yang kita pelajari dalam sejarah adalah sebenarnya orang tua-orang tua kita juga. Hubungan rumit yang terjalin antara kita dan orang yang kita pelajari dalam sejarah menjadi semakin jelas kala seorang hadirin yang mengajukan pertanyaan penting: Apakah orang tua-orang tua itu adalah orang-orang yang dulu melakukan kejahatan perang? Stephanie Welvaart, yang memoderatori sesi diskusi ini menutup perbincangan dengan menyimpulkan bahwa alangkah baiknya apabila isu kejahatan perang diperbincangkan dan dibuka selebar-lebarnya. “Kita tak mesti takut akan hal ini.”
Teater Delta Dua memberi kejutan bagi para hadirin dengan pementasan drama yang berjudul Westerling, yang dijalinkan dengan paparan reflektif dari Anne van Mourik, peneliti pendamping dalam sub-penelitian Konteks Politik Administratif Belanda dan Hindia Belanda. Pementasan tersebut tidak dimaksudkan untuk menyajikan kisah yang objektif, namun mencoba merangkum beragam pandangan yang berbeda mengenai peristiwa sejarah. Sebelum pementasan ini, Anne van Mourik sempat menerbitkan tulisannya tentang pementasan sebelumnya dari Delta Dua.
Jeffry Pondaag dari Yayasan Komisi Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang mewakili para korban kekerasan dan perang pada era kolonial dan juga penggagas utama pengajuan tuntutan hukum melawan pemerintah Belanda, adalah salah seorang yang berkeberatan dengan proyek penelitian tersebut. Kedatangannya di pertemuan tersebut adalah untuk menerangkan alasan di balik ketidaksetujuannya itu. Pada bulan November 2017, Jeffry Pondaag, bersama dengan Francisca Pattipilohy, merumuskan sebuah surat terbuka yang kemudian dikirimkan ke tiga menteri. Dalam paparannya malam itu, Jeffry Pondaag menyampaikan kembali surat terbuka tersebut, pertama dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda bagi hadirin yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Isi suratnya tersebut mempertanyakan perihal siapa yang memberikan hak kepada Belanda untuk mencaplok wilayah yang terletak 18000 kilometer jauhnya. Sikap yang ditampilkan pemerintah Belanda menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang wajar dan sah, akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa banyak orang dieksekusi dan dibantai atas nama Kerajaan Belanda.
Jeffry Pondaag juga memutar video yang berisi pesan dari Francisca Pattipilohy. Menurut Francisca Pattipilohy, penelitian ini harus dilandaskan terlebih dahulu pada pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pendudukan ilegal yang mengikutinya. Ini berarti bahwa peperangan yang terjadi selepas 17 Agustus 1945 adalah sebuah agresi militer yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda dengan maksud untuk menjajah kembali wilayah yang telah sebelumnya secara tidak sah mereka jajah. Belanda memerangi rakyat merdeka yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Menurut Francisca Pattipilohy, bagi Indonesia, tidak pernah ada masa ‘Bersiap’: tidak pernah terjadi masa kekosongan kekuasaan mengingat pemerintahan resmi Indonesia telah dibentuk. Penelitian ini mengabaikan kenyataan bahwa segala peperangan dan kekerasan yang terjadi adalah diakibatkan oleh hanya satu sebab, yakni penjajahan atas satu wilayah berdaulat.
Pada diskusi panel yang menghadirkan Liesbeth Zegveld, Marc van Berkel, Martine Gosselink dan Remco Raben, implikasi hukum dari penggunaan istilah-istilah dalam penelitian ini dijabarkan. Apa dampak dari penggunaan istilah-istilah khusus tertentu? Van Berkel memaparkan tentang kesenjangan pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah Belanda: periode ini dibahas dengan merujuk kepada naratif resmi pemerintah. Tidak ada penjelasan sama sekali tentang apa yang dialami oleh penduduk Indonesia saat penjajahan dimulai atau tentang bagaimana proses menuju kemerdekaan Indonesia terjadi. Kemudian, Raben dan Zegveld saling beradu pendapat tentang bagaimana para sejarawan menyikapi implikasi hukum yang berakar dari tuntutan hukum yang sedang diperjuangkan oleh Zegveld. Zegveld secara teliti menjelaskan kepada para hadirin bagaimana Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Belanda dapat diterapkan pada kasus yang sedang ditanganinya. Zegveld menyampaikan bahwa para peneliti tidak bisa serta merta mengakui keabsahan tanggal 17 Agustus 1945 kemudian memperbincangkan tentang periode ini menggunakan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum-hukum perang. Untuk memahami langkah yang diambil Belanda, sangatlah penting untuk merujuk kepada Burgerlijk Wetboek: lagi pula, aksi pemerintah Belanda dilakukan dengan asumsi bahwa yang berlaku pada masa itu adalah sistem hukum Belanda.
“Malam ini telah membuktikan betapa besar ketertarikan terhadap tema ini dan ketulusan yang ditunjukkan oleh setiap orang. Sebagai peneliti, kita adalah berdiri di tengah-tengah masyarakat dan terbuka untuk mendengar beragam suara dan sudut pandang,” ujar Frank van Vree saat menyampaikan pidato penutup. “Ini bukan berarti bahwa kita tak lagi mencoba membangun kembali bagaimana peristiwa sebenarnya terjadi. Kita membutuhkan sudut pandang yang beragam itu agar kita bisa memahami mengapa orang melakukan apa yang telah mereka lakukan.” Selepas penutupan, pertanyaan masih terus diajukan oleh para hadirin, jelas sudah bahwa kata-kata penutup masih tidak bisa memuaskan semua orang.