Pada tanggal 24 Januari, kelompok peneliti Saksi dan Rekan Sezaman, bekerja sama dengan Historisch Centrum Overijssel (Pusat Sejarah Provinsi Overijssel)/IJsselacademie (lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan regional provinsi Overijssel), mengadakan sebuah pertemuan berjaring. Pertemuan ini diselenggarakan sebagai tindak lanjut dari wawancara yang dilakukan oleh sejarawan Belanda Ewout van der Horst, bersama lima belas orang veteran perang Belanda dari Overijssel, sebuah provinsi di timur Belanda. Hasil wawancara ini kemudian diterbitkan di sebuah situs internet yang dikelolanya. Berikut adalah laporan pertemuan tersebut yang ditulis oleh Stephanie Welvaart.
“Dan kemudian kami berada di atas geladak, melihat dermaga yang perlahan menjauh. Sampai saat ini aku masih bisa melihat dermaga itu. Bayangkan bila Anda berdiri di atas kapal itu dan mendapati dermaga yang semakin berjarak, dermaga yang bergerak menjauh dari perahu. Air di antara kapal dan dermaga mulai berputar, bergerak di antara keduanya. Aku mengenal benar dermaga itu… Pagar kapal berdiri memisahkanku darinya. Aku hanya bisa mengawasi dari jauh, sampai kemudian kami keluar dari pelabuhan, meninggalkan dermaga. Lambat laun, semuanya menjadi lebih kecil, semakin samar, semakin kelabu, dan akhirnya hilang di balik kabut. Dan aku segera tahu bahwa aku takkan pernah bisa melihatnya lagi. Aku hanya bisa berdiri di atas kapal, menahan tangis. Berucap selamat tinggal kepada tanah airku, tempat dimana semua ingatan tertambat. Semua kutinggalkan. Dan takkan pernah kulihat lagi. Aku seolah-olah seperti sebuah pohon yang tertebas, sementara akarnya masih tertinggal.”
(Seorang perempuan dari Hindia Belanda mengisahkan kepergiannya dari Pelabuhan Tanjung Priok, Indonesia, Indonesia) *
Cerita di atas adalah potongan rekaman suara yang diputar pada pertemuan tersebut. Ketika dituangkan ke dalam tulisan, kisah itu begitu mengharukan; apalagi saat diperdengarkan secara langsung. Kisah-kisah semacam itu memberikan gambaran tentang keseharian dan dampak atas sebuah peristiwa besar terhadap kehidupan orang perorangan, dan akhirnya mewujud sebagai sebuah sejarah mungil (petite histoires). Sejarah-sejarah mungil semacam ini telah menjadi perhatian utama dalam beragam penelitian dan proyek-proyek sosial. Dalam pertemuan di hari itu, beragam penelitian dan proyek sosial tersebut kembali dirujuk.
Alasan utama yang memicu dilangsungkannya pertemuan di siang hari tanggal 24 Januari itu adalah diluncurkannya sebuah situs yang dijuduli Overijsselaars in de Oost. Verhalen van Indiëgangers, (Overijsselaar di Timur Belanda: Kumpulan Kisah dari Hindia Belanda). Situs ini merupakan proyek sejarah lisan yang digagas oleh Ewout van der Horst bekerja sama dengan IJsselacademie. Ewout membangun situs tersebut karena terilhami oleh proyek penelitian Saksi dan Rekan Sezaman yang telah membuatnya merasa harus menggali lebih jauh pengalaman-pengalaman kakeknya saat dia menjadi sukarelawan perang di Hindia Belanda. Melalui situs tersebut, dia juga berkeinginan untuk berkontribusi terhadap proyek Saksi dan Rekan Sezaman dengan mewawancarai 15 orang veteran yang saat ini tinggal di Overijseel. Kepada Ewout, mereka bercerita tentang pengalaman sewaktu mereka berada di Indonesia di kurun tahun 1945-1950. Kisah-kisah mereka dapat dibaca pada situs tersebut.
Fridus Steijlen dan Eveline Buchheim berbagi informasi dengan para peserta pertemuan tentang betapa proyek Saksi Sezaman tidak terlepas dari dan dilengkapi oleh proyek-proyek penelitian tentang sejarah lisan yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya. Fridus dan Eveline juga memberikan paparan tentang perdebatan yang kini sedang berlangsung tentang penelitian yang mendasarkan diri pada wawancara, testimoni/kesaksian, dan egodokumen.
Pada siang itu, kami belajar banyak dari proyek-proyek lokal yang dibangun melalui keterhubungan sosial yang menjadikan sejarah lisan sebagai kunci utama. Jayne Slot, penggagas Meerstemmige geschiedenissen (sejarah polifonik), berbagi cerita tentang kegiatan yang tengah dilakukannya, salah satunya mengambil latar di lingkungan perumahan orang-orang keturunan Indonesia di Amsterdam. Pada proyek ini, masa lalu kolonial Belanda dijadikan sebagai titik tolak dalam mengumpulkan kisah-kisah dari para penduduk di lingkungan tersebut. Nama-nama jalan adalah salah satu titik tolak yang paling konkrit. Keterlibatan lingkungan tempat tinggal mereka menjadi landasan yang kuat untuk menjadi saling tahu tentang cerita yang diketahui satu dengan lainnya, termasuk ingatan-ingatan tentang dan cerita dari Indonesia.
Mietji Hully berbagi pengalaman tentang proses membuat teater dan mengumpulkan kisah-kisah untuk pementasan drama Hoe zat het ook al weer? (Bagaimana rasanya?), sebuah pementasan tentang Perang Kemerdekaan Indonesia, dan drama tryptich Aan de andere kant (Di sisi lain), drama tiga bagian tentang orang-orang Maluku di Belanda. Dalam pementasan drama ini, para saksi sejarah keturunan Maluku turut pentas. Penampilan drama semacam ini bukannya hanya menawarkan khasiat terapeutik, tapi juga memicu perbincangan baru. Pementasan ini menghidangkan sebuah platform dan ruang yang lebih leluasa untuk membahas pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawab khususnya untuk generasi kedua dan ketiga.
Saskia Moerbeek memaparkan tentang Nationaal Knooppunt Oral History (Simpul Nasional Sejarah Lisan), yang merupakan sebuah inisiatif yang dapat meyumbang banyak terhadap proyek-proyek sejarah lisan tentang, contohnya, pelaksanaan penelitian dan penyimpanan bahan-bahan wawancara, serta data orang-orang yang terhubung dalam jaringan ini. Hal ini dipicu oleh kenyataan bahwa terkadang gagasan yang baik tidak bisa diejawantahkan tanpa dukungan data yang memadai, seperti arsip, perpustakaan, dan lembaga-lembaga lokal lain.
Pada siang itu, selain perbincangan yang membuka wawasan, para saksi dan peneliti yang hadir di pertemuan tersebut saling berbagi contoh-contoh bagi proyek sejarah lisan dan menunjukkan betapa pentingnya kerja sama yang terjalin. Kami ingin mengundang rekan-rekan yang tertarik dengan sejarah lisan dan egodokumen, sejarah lokal, dan pendidikan, serta yang tertarik kepada periode 1945-1950 di Indonesia untuk bergabung dengan kami. Silakan hubungi kami.
*Rekaman suara diambil dari Indië verteld. Herinneringen 1930-1950 (Hindia Belanda dalam Cerita: Memori dari tahun 1930-1950, oleh Marieke Brand, Henk Schulte Nordholt & Fridus Steijlen (red.), Walburg Pers/KITLV uitgeverij, 2005; bab 11: 'Pergi atau Tinggal? ' fragmen 2.